Bahasa dan
Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa dalam Proses Globalisasi
( Oleh: RR. Lestariningsih, S.Pd-Guru SMPN 196 Jakarta
Proses globalisasi merupakan fenomena yang menonjol
dewasa ini dengan berbagai sisi positif dan negatifnya. Abad ini biasa
dikatakan abad milenium atau abad milenium III berdasarkan perhitungan Masehi
yang berdampak akan membawa perubahan semua struktur bidang kehidupan dunia.
Perubahan ini dikhawatirkan akan merusak berbagai nilai-nilai budaya luhur yang
menjadi idenitas dan jati diri bangsa.Karena dianggapnya kebudayaan lokal dan
etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar dan budaya global.Inilah seuatu
ketakutan yang berlebihan dan menjadi mitos yang hidup selama ini tentang
globalisasi.
Anggapan atau pandangan yang demikian tidak
sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi ini telah membuat batas-batas
dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra ? Apa yang
terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi ?
ANALISIS
KURIKULUM DENGAN METODE KONTEKS, INPUT, PROSES, dan PRODUK
1. PENDAHULUAN
Dunia
dewasa ini mengalami perubahan yang makin dahsyat. Perubahan tersebut telah
sudah memasuki hampir semua aspek kehidupan di tanah air. Berapa besar pengaruh
teknolopgi informasi yang telah membuka tabir-tabir kegelapan dari kehidupan
masyarakat pedesaan. Dewasa ini hampir tidak ada lagi perbedaan yang mencolok
antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota dalam menguak perubahan
kehidupan. Telepon genggam telah dimiliki oleh masyarakat desa demikian pula
televisi telah dapat terjangkau oleh sebagian penduduk di Indonesia. Kemajuan
teknologi informasi tersebut merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat sejak lahir sampai akhir hayat.
Perubahan
pola-pola kehidupan, baik yang positif maupun negatif seperti hubungan manusia
antara manusia, antar anggota masyarakat, dalam bidang pekerjaan dan dalam
semua aktivitas kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh teknologi komunikasi
yang serba cepat itu. Televisi yang merupakan jendela dunia yang membuka visi,
pola kehidupan, life style, sampai kepada hidup beragama.
Pola-pola
kehidupan sakral yang terikat oleh adab / budaya mulai longgar bahkan terpaksa
menerima perubahan tersebut. Orang mulai terpengaruh oleh tayangan-tayangan
televisi, yang sangat mempengaruhi perilaku, cita-cita, gaya hidup, pandangan
hidup terhadap sesama, serta berbagai jenis informasi yang di dalam sekejam
membuka pola kehidupan yang tertutup seperti di desa-desa.
Perubahan
yang begitu cepat dan mau tidak mau masyaraka tidak bisa menghindari sempat
dirasakan sangat mempengaruhi cara hidup, apresiasi senii dan budaya,
penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hubungan antara manusia yang
dengan cepat menyebar. Semua ini mengubah cara hidup masyarakat desa dan
masyarakat kota menuju kepada masyarakat global.
Masyarakat
global merupakan perpaduan antara kenyataan dan bayangan yang maya dianggap
sebagai nyata dan yang nyata bisa dianggap sebagai yang maya. Sehingga tidak
perlu dihormati lagi. Sehingga dikhawatirkan ciri khas kepribadian bangsa
Indonesia mulai tersingkir. Banyak unsur kebudayaan tradisional kehilangan
artinya karena diserap dan dibongkar oleh kebudayaan maya.
Saat
ini masyarakat Indonesia sedang mengalami masa transisi menghadapi masa depan
yang lebih cerah karena perubahan-perubahan yang terjadi baik yang positif
maupun yang negatif akibat adanya arus globalisasi dewasa ini.
Oleh
sebab itu masalahnya adalah bagaimana mempersiapkan generasii muda untuk sadar
akan miliknya sendiri? Di sini perlu adanya sikap menghargai budaya sendiri dan
ciri khas kepribadian kita tidak boleh luntur. Diharapkan globalisasi yang
terjadi di Indonesia kendalanya bertumpu pada nilai-nilai budaya local /
lokalisme / globalisasi. Tentu
saja nilai-nilai lokal yang relevan sehingga nilai-nilai global yang ada mampu
memberi kekuatan terhadap perkembangan nilai-nilai lokal.
Seperti
halnya Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa nasional kita yang
menjadi ciri khas bangsa Indonesia di kancah dunia internasional. Kita tahu
bersama bahwa bahasa merupakan alat komunikasi resmi Negara kita sebagaiana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, pasal 36. Selain sebagai bahasa
resmi, bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana
tersirat di dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Bahasa Indonesia yang diresmikan
pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 merupakan bahasa dinamis yang
hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui percakapan,
maupun penyerapan di bahasa daerah dan asing.
Bahasa
Indonesia adalah dialih baku dari bahasa melayu yang pokoknya dari bahas melayu
Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam konggres Bahasa
Indonesia I tahun 1939 di Solo maupun konggres Bahasa Indonesia II tahun 1954
di Medan. Walaupun secara sejarah Bahasa Indonesia merupakan salah satu dialih
temporal Bahasa melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih
sama / mirip di alih temporal terdahulu. Seperti Bahasa Melayu klasik, dan
Bahasa Melayu kuno.
Namun
secara sosiologis, keberadaannya baru bisa diterima atau lahir pada tanggal 20 Oktober
1928 secara yudiris baru pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kita
tidak bisa memungkiri kebenaran bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat unsur
serapan dari bahasa asing seperti dari bahasa Sanskerta, bahasa Arab, bahasa
Portugis, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Unsur serapan tersebut ada yang
berupa bentuk aslinya dan ada yang telah disesuaikan dengan kaidah bahasa
Indonesia. Kata-kata seperti kompor, praktik hakikat, gubernur, politik,
akomodasi, dan sabda merupakan kata-kata yang diserap dari bahasa asing yang
telah menjadi bahasa Indonesia. Walaupun dalam bahasa Indonesia terdapat unsur
serapan dari bahasa asing, kita tidak dibenarkan menggunakan bahasa asing yang
belum diserap dalam bahasa Indonesia, kecuali dalam kutipan seperti hadist
berbahasa Arab yang dikutip dalam ceramah agama.
Kata-kata
yang telah diserap seperti contoh di atas boleh dipakai dalam berkomunikasi
dengan sesama orang Indonesia karena kata-kata seperti ini telah menjadi bahasa
Indonesia. Memang bahasa Indonesia haruslah kita utamakan pemakaiannya di dalam
Negara kita sendiri. Artinya, bahasa Indonesia kita pakai dalam berkomunikasi
dengan sesama orang Indonesia secara baik dan benar, walaupun kita telah
menguasai bahasa asing. Bahasa Indonesia dipakai secara baik dan benar maskudnya
adalah kita menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi resmi atau dengan
penutur yang menguasai bahasa daerah kita dengan kaidah kebahasaan Indonesia
yang dibakukan. Dalam situasi yang tidak resmi dan dipakai untuk berkomunikasi
dengan orang-orang yang menguasai bahasa daerah kita, kita gunakan bahasa
daerah kita. Dewasa ini kita sering mendengar dan membaca bahasa asing dipakai
di Negara kita untuk berkomunikasi antar orang Indonesia.
Perkembangan
teknologi yang mempengaruhi gaya hidup manusia di era serba canggih ini dapat
mengganggu ketahanan budaya nasional. Ketahanan budaya memerlukan strategi yang
cepat untuk menghadapi gempuran gaya hidup modern di era globalisasi dan sastra
Indonesia. Satu diantaranya melalui ketahanan
budaya daerah.
Ketahanan
budaya nasional dapat tercapai apabila bahasa da sastra dapat mencegah
timbulnya kehampaan budaya. Di mana unsur budaya daerah / tredisional yang
merupakan cerminan jati diri bangsa tidak boleh dilupakan fungsinya yang
memperkaya kebudayaan nasional dan dapat mengeliminasi gaya hidup hedonis di
era globalisasi.
Ketahanan
nasional membutuhkan jalinan pertemuan budaya dari berbagai kelompok etnik yang
didukung semangat kebersamaan dalam satu nusa dan bangsa untuk menjunjung
bahasa sebagai unsur budaya.
Suatu Negara yang tidak
memperhatikan dan melindugi akar kebudayaan, Negara itu akan mengalami
kehampaan budaya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa adapun kekuatan
budaya Indonesia terletak pada sosioligi dan psikologi sastra yang mampu
mengaitkan tradisi sastra dengan perkembangan masyarakat.
Apa sesungguhnya yang bercokol
dibelakang seluruh pendekatan sastra (dan seni secara umum) ? Tentu saja dengan
sangat mudah kita bisa merujuk ke perubahan standar-standar moral yang berlaku
di sebuah masyarakat. Serta kemudian terdapatnya berbagai standar moral
tersebut yang hidup dimasa yang sama.
Diantara
banyak filsuf, NIETZSCHE barangkali satu-satunya manusia yang berdiri untuk
mengacak-acak struktur dan urat-urat perubahan serta pertarungan kepentingan
moral yang berbeda-beda ini.
Dalam sejarah sastra Indonesia
polemik yang muncul dari generasi ke generasi, dari “polemik kebudayaan” hingga
“manufer kebudayaan”, dari soal sastra kontekstual hingga meluncurnya rancangan
Undang-Undang Anti-Pornografi dan pornoaksi, meskipun selalu memiliki bias
politik, tentu saja selalu menempatkan moral sebagai ujung tombak penyerangan
maupun lempeng perisai pertahanan.
Ungkapan
ini seperti halnya ungkapan-ungkapan umum metalitas di mana antara seniman /
sastrawan ada hubungan dengan masyarakat sekelilingnya dan saling berpengaruh
bagi keduanya.
Sehingga
sering dikatakan bahwa karya sastra lahir sebagai cerminan keadaan masyarakat
pada saat sastra itu dibuat. Sampai akhirnya muncul tingkatan-tingkatan sastra
di Indonesia dengan ciri khas masing-masing. Seperti angkatan 1920-an yang
disebut angkatan “Balai Pustaka”, Angkatan 1933 yang disebut juga angkatan
“Pujangga Baru”, Angkatan 1945 yang disebut angkatan “Pendobrak” dan angkatan
1966 atau disebut angkatan “Orde Lama”.
Pembagian angkatan seperti itu
dikemukakan oleh Hans Bagus Jassin (HB. Jassin) di dunia sastra yang disebut
dengan Paus Sastra Indonesia.
Adapun jenis sastra di Indonesia
dikenal dalam tiga genre (bentuk) yaitu puisi, prosa, dan drama. Maka dalam
pembelajaran ini akan saya batasi pembelajaran sastra khususnyapembelajaran
prosa dan puisi saja dalam hubungannya dengan pembelajaran normal kepada peserta
didik SMP kelas VII semester II.
Perlu diketahui bahwa pendidikan
pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan SDM yang bermoral dan berkualitas
unggul.
Dan
SDM tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sambungkan
untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa.
Untuk
itu diharapkan melalui pembelajaran sastra ini peserta didik diharapkan dapat
menjadi peserta didik yag bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME.
Dan
apa yang terjadi pada bangsa Indonesia adalah sebagai sumbangan pendidikan
nasional kita selama ini.
2. Pembelajaran
Sastra Mampu Menumbuhkan Empati dan Emosi – Sosial Peserta didik
Melalui pembelajaran sastra baik
prosa maupun puisi diharapkan mampu memberi bekal kepada para peserta didik
untuk menciptakan pribadi bermoral, mandiri, matang, jujur, berbudi pekerti
luhur, berperilaku santun dan mampu membentuk ppribadi yang memiliki empati,
berperasaan yang halus. Tentu saja dengan cara mengapresiasikan unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik karya sastra tersebut dengan menemukantunsur-unsurnya
seperti tema, tokoh, perwatakan, alur, setting, amanat, point of view, dan
bahasa yang digunakan.
Melalui pembelajaran sastra
(prosa/puisi) ini, nilai-nilai kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari
dapat diberikan kepada para pelajar disegala jenjang dari TK sampai dengan
pendidikan tinggi sebagai pendidikan budi pekerti sangatlah efektif.
Bagaimana
menanamkan nilai-nilai moral kehidupan menjadi lebih mudah dan sangat efektif
karena para pelajar sedara langsung dibawa baik secara fisik maupun psikis
untuk turut serta menikmati cerita / atau puisi dengan penuh perasaan. Secara
tidak langsung peserta didik diajak untuk berpikir dan berpendapat atas cerita
/ puisi yang ia nikmati, ini berarti peserta didik diajak menaggapi sastra yang
ia nikmati dilihat dari berbagai sudut pandang. Peserta didik bisa melihat dari
segi temanya, amanatnya, settingnya, tokohnya dan perwatakannya, kemudian bisa
juga dari bahasa yang dipakainya, kemudian unsur-unsur yang ada dalam sastra
tersebut apakah ada keterkaitannya dengan realita kehidupan masyarakat dan
adakah nilai-nilai yang sama dalam kehidupan yang ada dalam masyarakat yang
sebenarnya.
Melalui
kegiatan tersebut peserta didik sebenarnya diarahkan untuk menumbuhkan empati
dan membangkitkan emosi-sosial peserta didik. Melalui proses pembelajaran ini
diharapkan empati dan emosi-sosial peserta didik bisa terangsang melalui
kreatifitas guru bahasa Indonesia. Bagaimana kemampuan guru membacakan cerpen,
puisi, atau mendongeng dengan baik juga akan mampu menumbuhkan empati dan emosi
peserta didik. Di mana peserta didik digiring untuk menjadi penikmat sastra dan
secara pasti peserta didik diajak berimajinasi secara liar dan akhirnya larut
dalam suasana cerita/puisi/dongeng yang didengarkan tersebut. Akan tetapi
bagaiman dengan hal yang sebaliknya terjadi ? Guru kurang memiliki kemampuan /
keterampilan dalam ketiga hal tadi . Tentu empati dan emosi pun tidak akan
mudah tergali. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dan sastra akan berhasil
mampu membangkitkan empati dan emosi peserta didik tergantung dari sejauhmana
guru memiliki kreatifitasnya.
Kembali
lagi, bahwa seorang guru bahasa dan sastra dituntut untuk memiliki pengetahuan
yang luas dan ketrampilan dalam hal seni agar pembelajaran bahasa dan sastra
tidak membosankan.
3.
Kebermaknaan Materi Pembelajaran
Bahasa dan Sastra bagi Kehidupan Peserta didik
Dengan
terbangunnya empati dan emosi-sosial ini, peserta didik diharapkan ada
perubahan tingkah laku / perilaku pada diri peserta didik karena nilai-nilai
kehidupan bisa diajarkan guru melalui pembelajaran sastra ini. Tentu saja
dengan metode yang kreatif dan inovatif seorang guru mengajarkannya. Selain itu
bahan ajar yang guru pilih tingkat kesulitannya disesuaikan dengan jenjang /
tingkat pendidikannya.
Kalau
untuk anak SLTP misalnya disuguhkan kisah yang berjudul “Ibu pergi ke laut”.
Guru membacakan cerita pendek di depan kelas dengan menarik dan tepat. Peserta
didik menyimak pembacaan guru tentang cerpen kemudian peserta didik menjawab
pertanyaan dari guru tentang cerpen tersebut. Dari pembacaan saja peserta didik
mampu diaduk-aduk emosi, sosialnya dengan kata lain mampu mengembarakan
berpikir serta mengaduk hati peserta didik ranah kognity, pisik dan
sosial-emosinya.Terlihat ada satu suasana hampir 90 % peserta didik meneteskan
air matanya. Karena selain emosi-sosialnya yang teraduk-aduk ,daya imajinasi peserta
didik saat itu mampu diajak mengembara mengikuti alur cerita . Di sinilah letak
suatu kebermaknaan sebuah tema pembelajaran yang sulit didapat melalui proses
pembelajaran yang biasa.
Tentu
saja ini harus dilakukan dengan kreatif oleh seorang guru yang cerdas dengan
memperhatikan tema yang akan disajikannya. Semestinya metode dengan melibatkan peserta
didik secara aktif untuk memecahkan masalah unsur instrinsik karya sastra yang
ia simak justru akan banyak mengarahkan anak untuk mengambil sebuah sikap dan
keputusan dalam memecahkan masalah.
Melalui proses pembelajaran sastra
dengan metode yang kreatif ini, seorang guru hendaknya mampu memaknai tema-tema
cerita. Kebermaknaannya dalam kehidupan nyata akan tema-tema yang guru sajikan
harus bisa disampaikan dan dipahami peserta didik sehingga peserta didik merasa
ada manfaat yang dipetik / diambil dari apa yang telah ia pelajari.
Karena
peserta didik merasa ada manfaatnya yang bisa diambil / dipetik maka peserta
didik akan mengikuti proses pembelajaran dengan serius dan semangat.
Kebermaknaan
dalam belajar menjadi salah satu metode sekaligus tujuan belajar yang efektif
dalam pembelajaran sastra karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat
nyata. Sehingga sangatlah efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral dan
nilai-nilai sosial, budaya, dan agama pada peserta didik yang diharapkan mampu
memberi perubahan perilaku peserta didik menjadi lebih baik. Selain itu, guru
harus menjelaskan sejauh mana materi yang ia ajarkan akan bisa diterapkan dalam
kehidupan peserta didik baik secara moril maupun materil . Tema dalam cerita
sastra adakan keterkaitannya dengan kenyataan hidup atau tidak ? Amanat yang
seperti apakah yang bisa kita petik dari cerita
sastra ? Adakah penokohan yang ada bisa terjadi dalam kehidupan nyata ?
Mungkinkah watak-watak tokohnya akan kita temui dalam kehidupan nyata dan
bagaimana kita menghadapinya ? Adakah kesamaan settingnya ( tempat, waktu suasana ), masuk akal atau
tidak ? Bagaiamana alur ceritanya ? Bahasa / gaya bahasa apakah yang dipakainya
mampu memberikan wawasan bagi pembacanya dalam berbicara / berkomunikasi dengan
orang lain ?
4.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Perkuat ketahanan Nasional
[ JAKARTA] Ketahanan budaya nasional, dapat tercapai
apabila bahasa dan sastra daerah tetap dipertahankan keberadaannya. Bahkan , bahasa dan sastra
daerah, dapat mencegah timbulnya kehampaan budaya. Demikian yang dikemukakan
dalam seminar Majelis Bahasa Brunai Darussalam, Indonesia,Malaysia (
Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), di Jakarta
Perkembangan
teknologi yang mempengaruhi gaya hidup manusia di era serba canggih ini dapat
mengganggu ketahanan budaya nasional. Ketahanan budaya memerlukan strategi yang
cepat untuk menghadapi gempuran gaya hidup modern di era globalisasi dan sastra
Indonesia. Satu diantaranya melalui ketahanan
budaya daerah. Akar kebudayaan semestinya dilindungi sehingga tidak akan
terjadi kehampaan budaya dan hilangnya jati diri sebagai suatu bangsa. Ingat, kekuatan budaya kita terletak
pada faktor sosiologi dan psikologi sastra yang mampu mengaitkan nilai-nilai
sastra dengan perkembangan masyarakat di mana sastra itu lahir / kapan sastra
itu dibuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar