Laman

Rabu, 15 Mei 2013

Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa dalam Proses Globalisasi

Bahasa  dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa dalam Proses Globalisasi

( Oleh: RR. Lestariningsih, S.Pd-Guru SMPN 196 Jakarta

Proses globalisasi merupakan fenomena yang menonjol dewasa ini dengan berbagai sisi positif dan negatifnya. Abad ini biasa dikatakan abad milenium atau abad milenium III berdasarkan perhitungan Masehi yang berdampak akan membawa perubahan semua struktur bidang kehidupan dunia. Perubahan ini dikhawatirkan akan merusak berbagai nilai-nilai budaya luhur yang menjadi idenitas dan jati diri bangsa.Karena dianggapnya kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar dan budaya global.Inilah seuatu ketakutan yang berlebihan dan menjadi mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi.
Anggapan atau pandangan yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi ini telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra ? Apa yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi ?
 
ANALISIS KURIKULUM DENGAN METODE KONTEKS, INPUT, PROSES, dan PRODUK

 1.      PENDAHULUAN
 Dunia dewasa ini mengalami perubahan yang makin dahsyat. Perubahan tersebut telah sudah memasuki hampir semua aspek kehidupan di tanah air. Berapa besar pengaruh teknolopgi informasi yang telah membuka tabir-tabir kegelapan dari kehidupan masyarakat pedesaan. Dewasa ini hampir tidak ada lagi perbedaan yang mencolok antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota dalam menguak perubahan kehidupan. Telepon genggam telah dimiliki oleh masyarakat desa demikian pula televisi telah dapat terjangkau oleh sebagian penduduk di Indonesia. Kemajuan teknologi informasi tersebut merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat sejak lahir sampai akhir hayat.
Perubahan pola-pola kehidupan, baik yang positif maupun negatif seperti hubungan manusia antara manusia, antar anggota masyarakat, dalam bidang pekerjaan dan dalam semua aktivitas kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh teknologi komunikasi yang serba cepat itu. Televisi yang merupakan jendela dunia yang membuka visi, pola kehidupan, life style, sampai kepada hidup beragama.
Pola-pola kehidupan sakral yang terikat oleh adab / budaya mulai longgar bahkan terpaksa menerima perubahan tersebut. Orang mulai terpengaruh oleh tayangan-tayangan televisi, yang sangat mempengaruhi perilaku, cita-cita, gaya hidup, pandangan hidup terhadap sesama, serta berbagai jenis informasi yang di dalam sekejam membuka pola kehidupan yang tertutup seperti di desa-desa.
Perubahan yang begitu cepat dan mau tidak mau masyaraka tidak bisa menghindari sempat dirasakan sangat mempengaruhi cara hidup, apresiasi senii dan budaya, penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hubungan antara manusia yang dengan cepat menyebar. Semua ini mengubah cara hidup masyarakat desa dan masyarakat kota menuju kepada masyarakat global.
Masyarakat global merupakan perpaduan antara kenyataan dan bayangan yang maya dianggap sebagai nyata dan yang nyata bisa dianggap sebagai yang maya. Sehingga tidak perlu dihormati lagi. Sehingga dikhawatirkan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia mulai tersingkir. Banyak unsur kebudayaan tradisional kehilangan artinya karena diserap dan dibongkar oleh kebudayaan maya.
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami masa transisi menghadapi masa depan yang lebih cerah karena perubahan-perubahan yang terjadi baik yang positif maupun yang negatif akibat adanya arus globalisasi dewasa ini.
Oleh sebab itu masalahnya adalah bagaimana mempersiapkan generasii muda untuk sadar akan miliknya sendiri? Di sini perlu adanya sikap menghargai budaya sendiri dan ciri khas kepribadian kita tidak boleh luntur. Diharapkan globalisasi yang terjadi di Indonesia kendalanya bertumpu pada nilai-nilai budaya local / lokalisme /             globalisasi. Tentu saja nilai-nilai lokal yang relevan sehingga nilai-nilai global yang ada mampu memberi kekuatan terhadap perkembangan nilai-nilai lokal.
Seperti halnya Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa nasional kita yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia di kancah dunia internasional. Kita tahu bersama bahwa bahasa merupakan alat komunikasi resmi Negara kita sebagaiana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, pasal 36. Selain sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana tersirat di dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
            Bahasa Indonesia yang diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui percakapan, maupun penyerapan di bahasa daerah dan asing.
Bahasa Indonesia adalah dialih baku dari bahasa melayu yang pokoknya dari bahas melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam konggres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo maupun konggres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan. Walaupun secara sejarah Bahasa Indonesia merupakan salah satu dialih temporal Bahasa melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama / mirip di alih temporal terdahulu. Seperti Bahasa Melayu klasik, dan Bahasa Melayu kuno.
Namun secara sosiologis, keberadaannya baru bisa diterima atau lahir pada tanggal 20 Oktober 1928 secara yudiris baru pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kita tidak bisa memungkiri kebenaran bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat unsur serapan dari bahasa asing seperti dari bahasa Sanskerta, bahasa Arab, bahasa Portugis, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Unsur serapan tersebut ada yang berupa bentuk aslinya dan ada yang telah disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Kata-kata seperti kompor, praktik hakikat, gubernur, politik, akomodasi, dan sabda merupakan kata-kata yang diserap dari bahasa asing yang telah menjadi bahasa Indonesia. Walaupun dalam bahasa Indonesia terdapat unsur serapan dari bahasa asing, kita tidak dibenarkan menggunakan bahasa asing yang belum diserap dalam bahasa Indonesia, kecuali dalam kutipan seperti hadist berbahasa Arab yang dikutip dalam ceramah agama.
Kata-kata yang telah diserap seperti contoh di atas boleh dipakai dalam berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia karena kata-kata seperti ini telah menjadi bahasa Indonesia. Memang bahasa Indonesia haruslah kita utamakan pemakaiannya di dalam Negara kita sendiri. Artinya, bahasa Indonesia kita pakai dalam berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia secara baik dan benar, walaupun kita telah menguasai bahasa asing. Bahasa Indonesia dipakai secara baik dan benar maskudnya adalah kita menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi resmi atau dengan penutur yang menguasai bahasa daerah kita dengan kaidah kebahasaan Indonesia yang dibakukan. Dalam situasi yang tidak resmi dan dipakai untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang menguasai bahasa daerah kita, kita gunakan bahasa daerah kita. Dewasa ini kita sering mendengar dan membaca bahasa asing dipakai di Negara kita untuk berkomunikasi antar orang Indonesia.
Perkembangan teknologi yang mempengaruhi gaya hidup manusia di era serba canggih ini dapat mengganggu ketahanan budaya nasional. Ketahanan budaya memerlukan strategi yang cepat untuk menghadapi gempuran gaya hidup modern di era globalisasi dan sastra Indonesia. Satu diantaranya melalui ketahanan  budaya daerah.
Ketahanan budaya nasional dapat tercapai apabila bahasa da sastra dapat mencegah timbulnya kehampaan budaya. Di mana unsur budaya daerah / tredisional yang merupakan cerminan jati diri bangsa tidak boleh dilupakan fungsinya yang memperkaya kebudayaan nasional dan dapat mengeliminasi gaya hidup hedonis di era globalisasi.
Ketahanan nasional membutuhkan jalinan pertemuan budaya dari berbagai kelompok etnik yang didukung semangat kebersamaan dalam satu nusa dan bangsa untuk menjunjung bahasa sebagai unsur budaya.
            Suatu Negara yang tidak memperhatikan dan melindugi akar kebudayaan, Negara itu akan mengalami kehampaan budaya dan kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa adapun kekuatan budaya Indonesia terletak pada sosioligi dan psikologi sastra yang mampu mengaitkan tradisi sastra dengan perkembangan masyarakat.
            Apa sesungguhnya yang bercokol dibelakang seluruh pendekatan sastra (dan seni secara umum) ? Tentu saja dengan sangat mudah kita bisa merujuk ke perubahan standar-standar moral yang berlaku di sebuah masyarakat. Serta kemudian terdapatnya berbagai standar moral tersebut yang hidup dimasa yang sama.
Diantara banyak filsuf, NIETZSCHE barangkali satu-satunya manusia yang berdiri untuk mengacak-acak struktur dan urat-urat perubahan serta pertarungan kepentingan moral yang berbeda-beda ini.
            Dalam sejarah sastra Indonesia polemik yang muncul dari generasi ke generasi, dari “polemik kebudayaan” hingga “manufer kebudayaan”, dari soal sastra kontekstual hingga meluncurnya rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan pornoaksi, meskipun selalu memiliki bias politik, tentu saja selalu menempatkan moral sebagai ujung tombak penyerangan maupun lempeng perisai pertahanan.
Ungkapan ini seperti halnya ungkapan-ungkapan umum metalitas di mana antara seniman / sastrawan ada hubungan dengan masyarakat sekelilingnya dan saling berpengaruh bagi keduanya.
Sehingga sering dikatakan bahwa karya sastra lahir sebagai cerminan keadaan masyarakat pada saat sastra itu dibuat. Sampai akhirnya muncul tingkatan-tingkatan sastra di Indonesia dengan ciri khas masing-masing. Seperti angkatan 1920-an yang disebut angkatan “Balai Pustaka”, Angkatan 1933 yang disebut juga angkatan “Pujangga Baru”, Angkatan 1945 yang disebut angkatan “Pendobrak” dan angkatan 1966 atau disebut angkatan “Orde Lama”.
            Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bagus Jassin (HB. Jassin) di dunia sastra yang disebut dengan Paus Sastra Indonesia.
            Adapun jenis sastra di Indonesia dikenal dalam tiga genre (bentuk) yaitu puisi, prosa, dan drama. Maka dalam pembelajaran ini akan saya batasi pembelajaran sastra khususnyapembelajaran prosa dan puisi saja dalam hubungannya dengan pembelajaran normal kepada peserta didik SMP kelas VII semester II.
            Perlu diketahui bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan SDM yang bermoral dan berkualitas unggul.
Dan SDM tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sambungkan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa.
Untuk itu diharapkan melalui pembelajaran sastra ini peserta didik diharapkan dapat menjadi peserta didik yag bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Dan apa yang terjadi pada bangsa Indonesia adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
2.      Pembelajaran Sastra Mampu Menumbuhkan Empati dan Emosi – Sosial Peserta didik
            Melalui pembelajaran sastra baik prosa maupun puisi diharapkan mampu memberi bekal kepada para peserta didik untuk menciptakan pribadi bermoral, mandiri, matang, jujur, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun dan mampu membentuk ppribadi yang memiliki empati, berperasaan yang halus. Tentu saja dengan cara mengapresiasikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra tersebut dengan menemukantunsur-unsurnya seperti tema, tokoh, perwatakan, alur, setting, amanat, point of view, dan bahasa yang digunakan.
            Melalui pembelajaran sastra (prosa/puisi) ini, nilai-nilai kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari dapat diberikan kepada para pelajar disegala jenjang dari TK sampai dengan pendidikan tinggi sebagai pendidikan budi pekerti sangatlah efektif.
Bagaimana menanamkan nilai-nilai moral kehidupan menjadi lebih mudah dan sangat efektif karena para pelajar sedara langsung dibawa baik secara fisik maupun psikis untuk turut serta menikmati cerita / atau puisi dengan penuh perasaan. Secara tidak langsung peserta didik diajak untuk berpikir dan berpendapat atas cerita / puisi yang ia nikmati, ini berarti peserta didik diajak menaggapi sastra yang ia nikmati dilihat dari berbagai sudut pandang. Peserta didik bisa melihat dari segi temanya, amanatnya, settingnya, tokohnya dan perwatakannya, kemudian bisa juga dari bahasa yang dipakainya, kemudian unsur-unsur yang ada dalam sastra tersebut apakah ada keterkaitannya dengan realita kehidupan masyarakat dan adakah nilai-nilai yang sama dalam kehidupan yang ada dalam masyarakat yang sebenarnya.
Melalui kegiatan tersebut peserta didik sebenarnya diarahkan untuk menumbuhkan empati dan membangkitkan emosi-sosial peserta didik. Melalui proses pembelajaran ini diharapkan empati dan emosi-sosial peserta didik bisa terangsang melalui kreatifitas guru bahasa Indonesia. Bagaimana kemampuan guru membacakan cerpen, puisi, atau mendongeng dengan baik juga akan mampu menumbuhkan empati dan emosi peserta didik. Di mana peserta didik digiring untuk menjadi penikmat sastra dan secara pasti peserta didik diajak berimajinasi secara liar dan akhirnya larut dalam suasana cerita/puisi/dongeng yang didengarkan tersebut. Akan tetapi bagaiman dengan hal yang sebaliknya terjadi ? Guru kurang memiliki kemampuan / keterampilan dalam ketiga hal tadi . Tentu empati dan emosi pun tidak akan mudah tergali. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dan sastra akan berhasil mampu membangkitkan empati dan emosi peserta didik tergantung dari sejauhmana guru memiliki kreatifitasnya.
Kembali lagi, bahwa seorang guru bahasa dan sastra dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas dan ketrampilan dalam hal seni agar pembelajaran bahasa dan sastra tidak membosankan.
3.    Kebermaknaan Materi Pembelajaran Bahasa dan Sastra bagi Kehidupan Peserta didik
Dengan terbangunnya empati dan emosi-sosial ini, peserta didik diharapkan ada perubahan tingkah laku / perilaku pada diri peserta didik karena nilai-nilai kehidupan bisa diajarkan guru melalui pembelajaran sastra ini. Tentu saja dengan metode yang kreatif dan inovatif seorang guru mengajarkannya. Selain itu bahan ajar yang guru pilih tingkat kesulitannya disesuaikan dengan jenjang / tingkat pendidikannya.
Kalau untuk anak SLTP misalnya disuguhkan kisah yang berjudul “Ibu pergi ke laut”. Guru membacakan cerita pendek di depan kelas dengan menarik dan tepat. Peserta didik menyimak pembacaan guru tentang cerpen kemudian peserta didik menjawab pertanyaan dari guru tentang cerpen tersebut. Dari pembacaan saja peserta didik mampu diaduk-aduk emosi, sosialnya dengan kata lain mampu mengembarakan berpikir serta mengaduk hati peserta didik ranah kognity, pisik dan sosial-emosinya.Terlihat ada satu suasana hampir 90 % peserta didik meneteskan air matanya. Karena selain emosi-sosialnya yang teraduk-aduk ,daya imajinasi peserta didik saat itu mampu diajak mengembara mengikuti alur cerita . Di sinilah letak suatu kebermaknaan sebuah tema pembelajaran yang sulit didapat melalui proses pembelajaran yang biasa.
Tentu saja ini harus dilakukan dengan kreatif oleh seorang guru yang cerdas dengan memperhatikan tema yang akan disajikannya. Semestinya metode dengan melibatkan peserta didik secara aktif untuk memecahkan masalah unsur instrinsik karya sastra yang ia simak justru akan banyak mengarahkan anak untuk mengambil sebuah sikap dan keputusan dalam memecahkan masalah.        
            Melalui proses pembelajaran sastra dengan metode yang kreatif ini, seorang guru hendaknya mampu memaknai tema-tema cerita. Kebermaknaannya dalam kehidupan nyata akan tema-tema yang guru sajikan harus bisa disampaikan dan dipahami peserta didik sehingga peserta didik merasa ada manfaat yang dipetik / diambil dari apa yang telah ia pelajari.
Karena peserta didik merasa ada manfaatnya yang bisa diambil / dipetik maka peserta didik akan mengikuti proses pembelajaran dengan serius dan semangat.
Kebermaknaan dalam belajar menjadi salah satu metode sekaligus tujuan belajar yang efektif dalam pembelajaran sastra karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat nyata. Sehingga sangatlah efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama pada peserta didik yang diharapkan mampu memberi perubahan perilaku peserta didik menjadi lebih baik. Selain itu, guru harus menjelaskan sejauh mana materi yang ia ajarkan akan bisa diterapkan dalam kehidupan peserta didik baik secara moril maupun materil . Tema dalam cerita sastra adakan keterkaitannya dengan kenyataan hidup atau tidak ? Amanat yang seperti apakah yang bisa kita petik dari cerita  sastra ? Adakah penokohan yang ada bisa terjadi dalam kehidupan nyata ? Mungkinkah watak-watak tokohnya akan kita temui dalam kehidupan nyata dan bagaimana kita menghadapinya ? Adakah kesamaan settingnya  ( tempat, waktu suasana ), masuk akal atau tidak ? Bagaiamana alur ceritanya ? Bahasa / gaya bahasa apakah yang dipakainya mampu memberikan wawasan bagi pembacanya dalam berbicara / berkomunikasi dengan orang lain ?
 4.      Pembelajaran Bahasa dan Sastra Perkuat ketahanan Nasional
[ JAKARTA]   Ketahanan budaya nasional, dapat tercapai apabila bahasa dan sastra daerah tetap dipertahankan  keberadaannya. Bahkan , bahasa dan sastra daerah, dapat mencegah timbulnya kehampaan budaya. Demikian yang dikemukakan dalam seminar Majelis Bahasa Brunai Darussalam, Indonesia,Malaysia ( Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), di Jakarta
Perkembangan teknologi yang mempengaruhi gaya hidup manusia di era serba canggih ini dapat mengganggu ketahanan budaya nasional. Ketahanan budaya memerlukan strategi yang cepat untuk menghadapi gempuran gaya hidup modern di era globalisasi dan sastra Indonesia. Satu diantaranya melalui ketahanan  budaya daerah. Akar kebudayaan semestinya dilindungi sehingga tidak akan terjadi kehampaan budaya dan hilangnya jati diri sebagai  suatu bangsa. Ingat, kekuatan budaya kita terletak pada faktor sosiologi dan psikologi sastra yang mampu mengaitkan nilai-nilai sastra dengan perkembangan masyarakat di mana sastra itu lahir / kapan sastra itu dibuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar